Lokataru Minta Kemensos Aktifkan Lagi Kepesertaan Jaminan Kesehatan Pasien Cuci Darah

Ilustrasi cuci-darah

RAKYAT – langkah pemerintah yang menonaktifkan kepesertaan Penerima Bantuan Iuran (PBI) Jaminan Kesehatan kepada sejumlah pasien gagal ginjal, sehingga menyebabkan terancamnya nyawa pasien karena terhambat untuk mengakses pelayanan hemodialisis (HD).

​Untuk itu, Lokataru Foundation dan ​Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (​KPCDI​) mengecam kebijakan tersebut dan pihaknya menemukan pelanggaran hak atas jaminan kesehatan kepada pasien gagal ginjal untuk memperoleh pelayanan HD karena penonaktifan kepesertaan PBI Jaminan Kesehatan.

Adapun pelanggaran dilakukan kepada tiga orang pasien bernama Darsono, Budi, dan Hadi Siswanto,yang masing-masing berasal dari Provinsi Jawa Tengah, yakni Cilacap, Banjarnegara, serta Klaten.

Darsono adalah peserta PBI Jaminan Kesehatan yang hendak melakukan HD di RSUD Banyumas pada 2 Mei 2020. Usai menjalankan HD selama kurang lebih dua jam, ia mendapatkan kabar dari pihak administrasi rumah sakit bahwa BPJS PBI pasien miliknya tidak aktif.

Padahal, sebelumnya pada 29 April Darsono masih bisa menggunakan kartu BPJS PBI seperti biasa. Namun, akhirnya karena terlanjur dilakukan tindakan terapi HD, pasien harus membayar tagihan rumah sakit dengan uang pribadinya.

Kondisi tersebut dipastikan menyulitkan keadaan keuangan pasien yang pekerjaan sehari-harinya adalah membantu orang tua di rumah produksi sapu. Untungnya pihak rumah sakit memberi kelonggaran waktu pelunasan pembayaran HD tersebut.

Nasib serupa dialami Budi yang harus merelakan tidak bisa menikmati pelayanan HD pada 2 Mei 2020 di RSUD Banyumas, karena persoalan serupa, tidak aktifnya kepesertaan PBI Jaminan Kesehatan.

Juga, kondisi yang sama ditemukan pada pasien terapi HD, Hadi Siswanto. Saat hendak melakukan HD pada 2 Mei 2020 di RS Suraji Tirtonegoro, Klaten. Kepesertaan PBI Jaminan Kesehatan Hadi yang tidak aktif membuatnya terhalang dari pelayanan tersebut.

Bahkan, hingga 4 Mei 2020, pasien sudah mencoba melakukan koordinasi dengan BPJS Kesehatan dan Dinas Sosial setempat namun sia-sia dengan alasan penonaktifan kepesertaan tersebut merupakan kebijakan dari pusat.

Ketiga insiden yang dialami warga yang kesulitan mengakses layanan kesehatan tersebut menunjukkan bahwa pemerintah lalai menepati amanat Pasal 28 H ayat (1) dan Pasal 34 UUD NRI 1945 yang mengatur hak atas jaminan kesehatan bagi warga fakir miskin ataupun tidak mampu.

Dalam peraturan perundangan-undangan juga telah mengatur bagaimana hak atas jaminan kesehatan bagi kelompok fakir miskin dan tidak mampu melalui Pasal 1 angka 7, Pasal 18 ayat (1) serta Pasal 19 ayat (4) UU No 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan yang menegaskan tanggung jawab Pemerintah sebagai pemegang tanggung jawab dari hak atas jaminan kesehatan untuk menjamin bantuan iuran kepada peserta PBI Jaminan Kesehatan.

Juga Peraturan Menteri Kesehatan No 812/Menkes/Per/VII/2010 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Dialisis Pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan, pemerintah semestinya menjamin pelayanan HD dapat dilakukan pada fasilitas pelayanan kesehatan.

Di dalam peraturan tersebut juga dinyatakan bahwa Menteri Kesehatan, Dinas Kesehatan Provinsi, Kabupaten/Kota melakukan pembinaan dan pengawasaan dengan melindungi pasien dalam penyelenggaraan dialisis serta meningkatkan mutu pelayanan.

Terhambatnya akses pelayanan hemodialisis yang terjadi kepada pasien gagal ginjal merupakan suatu kelalaian yang dilakukan oleh Pemerintah yang kerap kali terjadi.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2012 tentang Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan, Kementerian Sosial adalah Kementerian yang bertanggung jawab untuk mendata peserta PBI Jaminan Kesehatan.

Namun, dalam melakukan pendataan, proses validasi dan verifikasi Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) yang dijadikan pedoman penetapan peserta PBI Jaminan Kesehatan kerap tidak tepat sasaran.

Berdasarkan catatan ​Lokataru Foundation dan ​KPCDI​, persoalan salah sasaran dalam perbaikan DTKS sebelumnya terjadi melalui Surat Keputusan Menteri Sosial Nomor 79 Tahun 2019 yang diterbitkan pada 1 Agustus 2019.

Melalui kebijakan tersebut Kementerian Sosial melakukan penonaktifan 5.227.852 peserta PBI Jaminan Kesehatan. Akibatnya, kami mencatat sejumlah pasien cuci darah menjadi korban dari penonaktifan tersebut lantaran akses pasien untuk menikmati layanan hemodialisis terhambat. Kebijakan tersebut juga ditengarai disebabkan oleh minimnya sosialisasi kepada sejumlah Dinas Sosial di daerah yang mengalami kesulitan dalam melakukan validasi dan verifikasi untuk ketepatan data.

Berdasarkan hal di atas, kami menuntut kepada Kementerian Sosial mengaktifkan kembali kepesertaan PBI Jaminan Kesehatan Darsono, Budi, dan Hadi Siswanto sebagai pasien penderita penyakit ginjal kronis agar mereka dapat menikmati pelayanan hemodialisis (HD) di fasilitas pelayanan kesehatan.

Juga, Kementerian Sosial agar melakukan koordinasi dengan Dinas Sosial di daerah agar melakukan proses validasi dan verifikasi Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) sehingga ketidaktepatan data PBI Jaminan Kesehatan yang dapat mengancam hak atas jaminan kesehatan warga tidak terulang lagi.

Terakhir, kepada Kementerian Sosial segera melakukan evaluasi sistem pendataan serta memperbaharui indikator kemiskinan yang sudah tidak relevan dengan kondisi sosial dan ekonomi warga.[/4]

Open chat
1
Butuh bantuan?
Rakyat
Halo! Apa yang bisa kami bantu, Kak?