Saran Pakar Hukum Pidana Tim Kajian UU ITE Fokus di Pasal Karet

Undang-undang ITE

RAKYAT.CO – Resmi Pemerintah membentuk Tim Kajian Undang-undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang tertuang dalam Keputusan Menteri Koordinator bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Nomor 22 Tahun 2021.

Ditetapkan pada Senin (22/2/2021) terdiri dari Tim Kajian yakni Pengarah dan Tim Pelaksana yang masing-masing tim memiliki tugas masing-masing.

Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar menilai mengapresiasi langkah pemerintah yang telah membentuk tim ini.

Saran Fickar kepada tim agar memulai bekerja dan mengkaji kasus-kasus yang pernah terjadi, khususnya berkaitan dengan ‘pasal-pasal karet’ dalam UU ITE.

“Tentu setiap kasus punya karakter masing masing. Namun jika diteliti ada beberapa faktor yang mendorong perubahan UU ITE,” ujar Fikckar di Jakarta, Selasa (22/2/2021).

Beberap faktor yang mendorong dilakukan revisi UU itu antara lain, Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 28 ayat (2). Menurutnya, pasal ini memicu semua ujaran dapat dipidanakan tergantung sepenuhnya pada orang-orang yang dianggap menjadi korban bahkan oleh pemerintah sendiri.

Soal pencemaran nama baik atau ujaran yang menimbulkan permusuhan berdasar SARA. Dia mengatakan, Pasal 28 ayat (2) ini berpotensi menjadi alat pembungkaman kritik bagi masyarakat.

Maksud dari Pasal 28 (2) dimaksudkan sebagai propaganda kebencian, guna mencegah terjadinya permusuhan, kerusuhan atau bahkan perpecahan atas dasar SARA tetapi dalam praktiknya justru kasus-kasus menimpa mereka yang melakukan kritik.

Juga, melakukan keberatan terhadap kebijakan atau program tertentu, sehingga tidak bisa dihindarkan kesan bahwa penegakan hukum justru terjadi untuk membungkam suara rakyat yang kritis, atau kriminalisasi atas hak mengemukakan pendapat yang dijamin konstitusi.

Pasal-pasal pidana tersebut duplikasi dari aturan yang sudah ada dalam KUHP dengan disparitas hukuman yang tinggi. Dalam pasal 27 ayat (3) tentang pencemaran nama baik disesuaikan dengan ancaman hukuman dalam KUHP dan itupun belum menyelesaikan masalah.

Kewenangan memblokir pada Pasal 40 ITE. Fickar melihat jika tidak ada pembatasan maka berpotensi terjadinya pemblokiran yang sewenang-wenang oleh pihak yang tidak berwenang secara hukum.

“Tidak ada proses hukum sampai karena pengadilan. Padahal “kewenangan blokir” bagian dari upaya paksa seperti menangkap, menahan, menyita yang dibatasi oleh waktu dalam proses peradilan,” pungkasnya.[/1]

Open chat
1
Butuh bantuan?
Rakyat
Halo! Apa yang bisa kami bantu, Kak?