Ubah Pendekatan Keamanan di Papua Jadi Persuasif, OPM: Sia-sia Saja!
RAKYAT.CO – Aparat berencana mengubah pola pendekatan keamanan di Papua menjadi lebih persuasif dinilali oleh Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPPB-OPM) sebagai hal yang sia-sia.
Korps Bhayangkara merubah sandi operasi keamanan di Papua menjadi Nemangkawi nantinya menjadi Operasi Damai Cartenz. Polisi akan mengedepankan pendekatan kesejahteraan masyarakat di Papua.
Juru Bicara TPNPB-OPM Sebby Sambom bahwa rencana kepolisian tersebut tak menjawab akar permasalahan di Bumi Cenderawasih tersebut.
“Sama saja. Karena akar masalah Papua adalah pelanggaran terhadap hak politik penentuan nasib sendiri. Jadi apapun yang Indonesia mau lakukan di Papua sia-sia,” tutur Sebby, Rabu (12/1).
OPM telah menutup pintu terhadap pendekatan lain yang dilakukan oleh Indonesia selain kemerdekaan penuh atas wilayah tersebut.
“Kami tidak butuh dialog dengan Jakarta, tapi kami sudah ajukan duduk di meja perundingan dengan kabinet Jokowi. Dan perundingan yang dimediasi oleh PBB. Cara apapun tidak Mungkin, kecuali Papua merdeka penuh baru akan aman dan damai,” katanya.
Perubahan nama operasi itu direncanakan akan dilakukan pada 25 Januari 2022. Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Polri Brigjen Ahmad Ramadhan menjelaskan ada tiga fungsi yang menjadi fokus operasi Damai Cartenz ini, yaitu fungsi intelijen, fungsi pembinaan masyarakat (binmas), dan fungsi hubungan masyarakat (humas).
Proses penindakan hukum akan dilakukan dalam operasi Damai Cartenz. Hanya saja Ramadhan menegaskan, sifatnya sebatas fungsi pendukung saja.
Diinformasikan sebelumnya, Panglima TNI Andika Perkasa disebut enggan menerapkan pendekatan perang di Papua dan lebih memilih “memenangkan perang tanpa pertempuran”.
Riset Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), empat akar masalah konflik di Papua mencakup; Pertama, dugaan kecurangan dalam proses integrasi Papua ke Indonesia melalui referendum Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969. Pasalnya, jajak pendapat itu dinilai tidak sesuai dengan isi dari Perjanjian New York, yaitu “one man one vote”.
Kedua, pelanggaran HAM dilakukan pemerintah dan aparat keamanan negara; ketiga, marginalisasi dan diskriminasi terhadap orang Papua; keempat, kegagalan pembangunan infrastruktur sosial di Papua, seperti fasilitas kesehatan, pendidikan, serta ekonomi rakyat, meski ada dana Otonomi Khusus (Otsus).[/1]