RI Siapkan Strategi Agar Tak Seperti Sri Lanka Bangkrut Gegara Utang

Kamis, 14 Juli 2022

Pengunjuk rasa duduki istana Presiden Sri Lanka

RAKYAT.CO – Terdapat potensi berupa ancaman krisis ekonomi yang bakal menyapu terhadap sejumlah negara, seperti yang terjadi di Sri Langka.

Hal itu berulang kali diingatkan oleh Presiden Joko Widodo. Bahkan, Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, mengakui risiko inflasi, resesi, dan stagflasi, tengah mengintai perekonomian Indonesia saat ini.

Apa indikator krisis ekonomi sebagaimana yang terjadi di Sri Lanka, yang saat ini harus diwaspadai oleh Indonesia?

Indikator pertama mesti dicermati adalah kekuatan atau ketahanan ekonomi sebuah negara, baik dari sisi pendapatan negara maupun dari sisi ekspor.

“Pendapatan negara, Sri Lanka ini awalnya sangat jor-joran kepada masyarakat untuk memberikan
bantuan subsidi. Tetapi di sisi lain, pendapatan negara tidak mendukung untuk pengeluaran. Jadi besar pasak daripada tiang,” ujar Peneliti dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Abra Talattov, Kamis (14/7/2022).

Pola ini selalu terjadi dari tahun ke tahun di Sri Lanka. Sehingga, hal itu melenakan publik dan pemerintah, karena mereka sangat mengandalkan ketahanan ekonomi dari pinjaman ataupun utang. “Terutama utang luar negeri,” ujarnya.

Indikator kedua adalah dari sisi kemampuan negara tersebut mencetak devisa dari perdagangan internasional. Karena, Sri Lanka sebelumnya sangat ketergantungan terhadap produk impor dan mereka selalu mengalami defisit neraca perdagangan.

“Kedua hal itu akhirnya menjadi bom waktu ketika harga-harga komoditas melonjak, namun kebutuhan terhadap pangan dan energi sangat mengandalkan impor. Sri Lanka beberapa bulan lalu tidak memiliki cadangan devisa yang cukup, untuk bisa membeli kebutuhan kebutuhan impornya tadi,” ujarnya.

Valuta asing Sri Lanka sangat terbatas, menjadikan kebutuhan pangan dan energi tidak bisa dipasok kepada masyarakat. Hal itulah menyebabkan inflasi di Sri Lanka melonjak sampai 50 persen lebih.

Saat pasokan pangan, energi, dan obat-obatan itu terbatas, sementara masyarakat tidak bisa mengakses
barang-barang strategis tersebut, maka muncul kemarahan masyarakat.

Menjadi masalah yang tadinya berasal dari dimensi krisis ekonomi, kemudian bertransformasi ke krisis sosial dan krisis politik.

“Kondisi ini harus jadi pelajaran penting bagi Indonesia dan juga banyak negara-negara lain, yang saat ini tengah menghadapi situasi yang sama,” ujarnya.[/1]