RAKYAT.CO – Rencana Pemprov DKI menerapkan jalan berbayar atau electronic road pricing (ERP) di 25 ruas jalan, sikap publik perlu memiliki pandangan yang kritis.
“Pemprov DKI Jakarta harus menjelaskan bagaimana hasil sistem ganjil-genap. Sudah ada evaluasi dan kajiannya? Kalau sistem ganjil-genap gagal mengatasi macet mau diganti ERP, Pemprov DKI harus menyatakan terbuka bahwa sistem ganjil-genap yang menyusahkan warga Jakarta atau dinilai gagal,” ujar Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS), Anthony Budiawan Jakarta, Selasa (14/2/2024).
Menurut Anthony, selama tidak ada evaluasi dan pernyataan resmi, Pemprov DKI tidak berhak menerapkan ERP. Pasalnya, dasar diberlakukannya sebuah kebijakan publik harus jelas, kuat dan terukur serta tidak terkesan hanya sekedar proyek untuk ‘memeras’ warga.
Pemprov DKI, kata Anthony, harus menjelaskan siapa investor ERP. Apakah Pemprov DKI langsung, atau ada investor atau pihak ketiga. “Perlu dijelaskan ke publik kalau ada investor pihak ketiga, bagaimana cara pengadaan sistem ERP tersebut. Apakah beli putus, atau bagi hasil? Umumkan siapa investornya itu,” katanya.
Bila saja bagi hasil, berapa bagian jatah investor dan Pemprov DKI Jakarta sampaikan kepada publik. Terlebih pemberlakuan jam operasional ERP sangat panjang, mulai pukul 05.00 hingga 22.00 WIB, menjadikan sistem ERP sebagai mesin cuan.
Terakhir, sistem ERP sudah diterapkan di sejumlah negara maju yang sistem transportasinya, cukup mumpuni dan pendapatan per kapita penduduknya cukup tinggi seperti di Singapura, Jerman, Swedia dan Inggris.
Data pada 2021, pendapatan per capita dari empat negara itu, sebagai berikut. Singapura sebesar US$72.794 atau setara Rp1,1 miliar (Rp15.000/US$), Jerman US$51.204 setara Rp768 juta, Swedia US$61.029 setara Rp915 juta dan Inggris US$46.510 setara Rp697,65 juta.
“Indonesia, pendapatan per capitanya hanya 4.333 dolar AS atau setara Rp64,995 juta. Indonesia termasuk negara berpendapatan menengah, sehingga belum layak menerapkan sistem ERP.Juga, sistem transportasi publik Jakarta masih belum baik dan masih buruk,” katanya.
“Jangan sampai ketidakmampuan pejabat Pemprov DKI mengatasi kemacetan dan kegagalan membangun transportasi publik, dibebankan kepada warga Jakarta dengan cara menerapkan ERP. Kebijakan publik untuk menutupi kegagalan tidak boleh terjadi,” pungkasnya.[/3]