ICW Sebut Korupsi Rugikan Negara Rp 39,2 Triliun Pada 2020

Senin, 12 Oktober 2020

Korupsi

RAKYAT – Sepanjang semester I tahun 2020, Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat negara telah mengalami kerugian sebesar Rp39,2 triliun dari praktik korupsi.

Jumlah terhitung sangat besar jika dibandingkan total denda yang dijatuhkan majelis hakim kepada terdakwa yang hanya berkisar Rp102.985.000.000, serta uang pengganti Rp 625.080.425.649, US$128.200.000 dan SGD2.364.315 atau sekitar Rp2,3 triliun.

“Jadi, praktis kurang dari lima persen kerugian negara yang mampu dipulihkan melalui instrumen Pasal 18 Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,” ujar Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana, Ahad (11/10/2020).

Disparitas, kata Kurnia, dari segi pemulihan kerugian keuangan negara tidak jauh berbeda dari tahun sebelumnya. Pada semester I tahun 2019, total kerugian negara akibat praktik korupsi Rp 2,132 triliun, sedangkan pengenaan uang pengganti hanya sekitar Rp183 miliar.

“Kondisi ini menunjukkan majelis hakim belum memaknai kejahatan korupsi yang mencakup sebagai financial crime, di mana penjatuhan hukuman mesti berorientasi pada nilai ekonomi,” katanya.

Pengenaan uang pengganti semestinya selalu melekat pada putusan hakim ketika menyidangkan sebuah perkara yang menggunakan Pasal terkait kerugian keuangan negara dalam dakwaan penuntut umum.

Dapat diphami kendala utama dari implementasi uang pengganti adalah saat terpidana lebih memilih untuk menjalankan hukuman subsider dengan dalih aset tidak mencukupi untuk membayar hal tersebut.

“Selain itu, kondisi tersebut dikhawatirkan Penuntut Umum memberikan solusi alternatif, yakni membayar uang pengganti atau menjalani masa pidana penjara pengganti,” katanya.

Ada beberapa metode penyelesaian mencegah tindakan terpidana yang kerap kali menghindari pembayaran uang pengganti. Pertama, reformulasi pengenaan hukuman subsider dengan berlandaskan jumlah uang pengganti.

Hal itu menjadi salah satu persoalan klasik yang tak kunjung terselesaikan. ICW mencatat setidaknya ada 475 terdakwa dikenakan pidana tambahan berupa uang pengganti.

“Dari total tersebut, ditemukan 368 terdakwa yang dijatuhi sanksi berupa pidana penjara pengganti. Jika dirata-ratakan pidana penjara pengganti ini hanya 12 bulan penjara,” tandasnya.

Dalam konteks kasus ini, salah satu isu krusialnya juga termasuk disparitas hukuman pidana penjara pengganti.
Metode kedua menggunakan konsep ‘sita jaminan’ (conservatoir beslag) sebagaimana dilakukan dalam rumpun hukum perdata.

Nantinya harta milik terdakwa telah disita sejak yang bersangkutan masih berstatus sebagai tersangka pada fase penyidikan.

Penegak hukum semestinya tidak hanya menyita aset yang didapatkan dari praktik korupsi, melainkan termasuk juga harta benda lainnya.

“Saat nanti terdakwa dijatuhi pidana tambahan berupa uang pengganti dan ia tidak dapat membayar, maka aset yang telah disita sebelumnya dapat dirampas oleh negara,” ungkapnya.

Berkaca dari temuan di atas, ICW meminta agar setiap hakim mengedepankan perspektif uang pengganti dalam menyidangkan perkara rasuah.

“Kondisi tersebut berkenaan langsung pada kepentingan masyarakat sebagai pihak yang paling terdampak atas kejahatan korupsi,” pungkas Kurnia.[/4]