RAKYAT.CO – Pemerintah tengah menyusun aturan soal pembatasan penggunaan toa di masjid, mengingat banyak aspirasi di tengah masyarakat.
“Soal aturan masih dibahas karena Indonesia memiliki masyarakat yang heterogen dan dinamika yang berbeda-beda tiap provinsi maupun daerah. Ada dinamika yang ada juga perlu diperhatikan antara Desa dengan kota tentu berbeda misalnya seperti di masjid raya, provinsi dan kota, ” ujar Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kemenag, Kamaruddin Amin di Jakarta, Kamis,(27/05/2021).
Pasalnya, kondisi masyarakat sangat bervariasi ada yang menyebut penggunaan pengeras suara bagian dari syiar, ada juga yang terganggu.
“Surat Edaran dari Dirjen Bimas Islam terkait tuntutan penggunaan pengeras suara di masjid, langgar dan mushalla yang tertuang pada Surat Edaran nomor B.3940/DJ/III/Hk.00.7/08/2018. Dalam Edaran tersebut tertulis bahwa suara yang disalurkan keluar masjid hanyalah adzan sebagai tanda telah tiba waktu shalat, ” ungkapnya.
Shalat dan doa pada dasarnya hanya untuk kepentingan jamaah ke dalam dan tidak perlu ditujukan keluar untuk tidak melanggar ketentuan syariah yang melarang bersuara keras dalam sholat dan doa.
Dzikir pada dasarnya adalah ibadah ibadah individu langsung kepada Allah SWT karena itu tidak perlu menggunakan pengeras suara baik ke dalam atau keluar.
“Surat edaran dirjen bimas Islam megatur tentang pengeras masjid sejak tahun 78 itu ada, dan jadi pedoman selama ini. Namun memang karena dinamika masyarakat cukup berkembang sehingga perlu ada yang diadaptasi,” tandasnya.
Pemerintah menyerap aspirasi dengan memperhatikan sejumlah dinamika dan realitas yang ada. Pekan depan nanti mungkin tidak sama semuanya, bervariasi.
“Tidak mudah memang, kita membuat aturan sebab banyak masyarakat dengan pendapat bervariasi. Kita mengambil kebijakan paling moderat,” pungkas Kamaruddin Amin.[/2]