Komisi III DPR: Kejagung Tak Pernah Bahas Djoko Tjandra di RDP

Selasa, 4 Agustus 2020

Djoko Tjandra

RAKYAT – Keseriusan Kejaksaan Agung (Kejagung) dalam menangani kasus Djoko Tjandra dipertanyakan anggota Komisi III DPR, Nasir Djamil.

Pasalnya, pihak Kejagung terlihat pasif dalam penanganan terpidana kasus korupsi hak tagih Bank Bali tersebut. Seharusnya, Kejagung sebagai lembaga yang aktif mengawasi Djoko Tjandra.

Nasir lantas membandingkan dengan langkah Kejagung saat menangkap terpidana kasus korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Samadikun Hartono.

“Jadi, dulu waktu masa Pak Pras (HM Prasetyo) kan Samadikun (Hartono) seingat saya dulu dijemput. Makanya, Pak Pras sendiri datang ke Halim, sekarang kenapa tidak,” ujar Nasir di Jakarta, Selasa (4/8/2020).

Kejagung, kata Nasir, juga tidak pernah membahas soal Djoko Tjandra selama rapat dengar pendapat dengan DPR. Namun, dia tidak mengetahui alasan Kejagung tidak melakukan hal tersebut.

Ia menduga ada berbagai penyebab Kejagung pasif dalam menangkap Djoko Tjandra. Meski tidak membeberkan secara rinci, dia mengatakan, hal tersebut dapat digali dari Menkopolhukam Mahfud MD.

“Apa dan bagimana, kita tidak tahu itu dilibatkan dari awal atau tidak, cuma memang betul. Dulu waktu Samadikun dijemput ada Pak Pras, saya juga bertanya seperti itu, sekarang kok tidak ada unsur jaksa,” tandas Nasir.

Nasir mengakui, polisi memiliki sumber daya dalam menindak pelaku tindak pidana. Sehingga, dia menduga, kepolisian paling mobile dalam menangkap Djoko Tjandra.

“Jadi yang bisa mobile polisi, menurut saya bisa kita pahami kalau kemudian jaksa atau kejaksaan tidak aktif,” katanya.

Sebelumya, mantan Direktur Penyidikan Kejaksaan Agung, Chairul Imam mengatakan Kejagung kecolongan dengan pelarian Djoko Tjandra. Dia menilai, salah satu aspek yang menyebabkan kecolongan itu lantaran lemahnya intelijen di kejaksaan.

Kejagung seharusnya terus memantau pergerakan Djoko Tjandra. Mulai dari keberadaan, termasuk memantau apakah yang bersangkutan berencana masuk ke Indonesia atau tidak. Kejagung telah memiliki kesepakatan dengan Polri dengan pemanfaatan teknologi yang dinamai I-24/7 sejak 2014

Teknologi tersebut dapat melakukan pertukaran informasi selama 24 jam diantara 190 negara interpol. Teknologi, juga dapat dimanfaatkan memonitor kejahatan internasional yang terjadi, terutama yang melibatkan Indonesia.

Beberapa kali, kata Chairul, Kejagung berhasil membawa buronan dari luar negeri. Bahkan, sambung dia, dari negara-negara yang tidak memiliki perjanjian ekstradisi dengan Indonesia.

“Berbagai tempat yang tidak punya perjanjian ekstradisi dengan kita, kita bisa berhasil. Jadi enggak tahu kok kenapa sekarang ini bisa begini, saya sendiri sudah lama di luar kejaksaan,” ungkapnya.

Tidak ada upaya serius dari Kejagung untuk menangkap Djoko Tjandra bahkan sampai red notice habis keberlakukannya sejak 2019 pun juga tidak segera melakukan perpanjangan.

Mejurutnya, publik justru mengetahui hal tersebut justru ketika Mabes Polri mengirimkan surat ke imigrasi dan juga ke Kejagung.

Kejagung menjatuhkan sanksi terhadap sejumlah pegawai yang diduga terlibat dalam pelarian Djoko Tjandra. Mereka mencopot Jaksa Pinangka Sirnamalasari dari jabatan Kepala Sub Bagian Pemantauan dan Evaluasi pada Biro Perencanaan Jaksa Agung Muda Bidang Pembinaan, Kejaksaan Agung.

Pinangki dicopot dari jabatannya karena diduga bertemu dengan Djoko Tjandra di Malaysia pada 2019 lalu.

Djoko Tjandra dibawa kembali melalui jalur penerbangan via Bandara Halim Perdanakusumah. Dia telah tiba di Halim Perdanakusumah, Kamis malam sekitar pukul 22:45 WIB dan segera dibawa ke Mabes Polri.

Kabareskrim Polri Komjen Pol Listyo Sigit Prabowo mengatakan penangkapan Djoko melibatkan Kepolisian Diraja Malaysia. Djoko didakwa melakukan tindak pidana korupsi berkaitan dengan pencairan tagihan Bank Bali melalui cessie yang merugikan negara Rp 940 miliar dan buron sejak 2009 lalu.

Dia berjanji kepolisian akan menjalankan pemeriksaan secara terbuka dan transparan sehingga publik bisa mengikuti segala perkembangan yang ada.

Juga, kepolisian ingin agar proses pemeriksaan cepat selesai dilakukan sehingga semua kasus yang berkenaan dengan Djoko Tjandra bisa segera disampaikan ke publik.[/5]