RAKYAT.CO – Dalam RUU pemilihan Umum versi 26 November 2020 mengatur bahwa Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh Partai Politik pada Pasal 187 ayat (1).
Termasu, gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya.
“Ambang batas pencalonan presiden masih akan tetap dipertahankan. Padahal, mestinya kita bisa belajar dari Pemilu 2019 maupun Pilpres Amerika Serikat (AS) 2020 yang sedemikian rupa membelah masyarakat,” ujar Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini di Jakarta, Rabu (20/1/2021).
Dengan polarisasi membuat masyarakat tidak lagi berorientasi pada politik gagasan dan program melainkan dominan dikendalikan faktor emosional. Namun, hal itu mengancam kohesi sosial dan harmoni masyarakat yang mestinya bisa menerima keragaman pilihan politik.
“Semestinya dibuka ruang dan akses pada pencalonan yang lebih mudah bagi kader-kader terbaik parpol. Sehingga problem polarisasi dan calon tunggal bisa kita hindari,” tandas Titi.
Untuk calon tunggal adalah persoalan hilir, masalah hulunya adalah akses pada pencalonan. Sedangkan, untuk keran pencalonan perlu dibuka sehingga figur-figur terbaik bisa menjadi bagian dari kompetisi dengan menghapus persyaratan ambang batas pencalonan presiden.
Tidak perlu takut akan banyak capres dan cawapres, karena partai pasti akan didorong berkoalisi secara alamiah untuk memperkuat potensi calon yang mereka usung. Juga, tidak mudah untuk bisa menjadi parpol peserta pemilu, apalagi persyaratan untuk menjadi parpol peserta pemilu sangat berat dan kompleks.
“Mastikan parpol peserta pemilu memenuhi persyaratan yang ada maka verifikasi parpol untuk menjadi peserta pemilu harus dipastikan berjalan benar dan konsisten sesuai UU Pemilu,” tandasnya.
Wakil Sekretaris LHKP PP Muhammadiyah menandaskan bahwa di sisi lain, masyarakat Indonesia sangat beragam ini tidak cocok apabila didekati dengan pilihan yang terbatas.
Polarisasi yang bisa melemahkan kesatuan dan persatuan bangsa. Relasi antara pemilih dan orang yang dipilih akhirnya tidak mampu melahirkan sistem kontrol yang efektif karena dilandasi faktor emosional yang dominan, yaitu suka atau tidak suka.
“Tidak lagi berbasis kinerja ataupun performa dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya. Fenomena itu tidak lepas akibat keterbelahan dari pemberlakuan ambang batas pencalonan presiden seperti Pemilu 2019 lalu,” pungkas Titi.[/1]