RAKYAT – Perhatian dan energi rakyat kembali terkuras akibat polemik dan kontroversi Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP di tengah Pandemi Covid-19.
Kontroversi RUU HIP merupakan inisiatif DPR RI ini antara lain tidak menjadikan Ketetapan MPRS RI No. XXV/MPRS/1966 tentang Larangan Ajaran Komunisme/Marxisme sebagai rujukan.
Juga, terdapat pasal-pasal yang mencoba ‘memeras’ Pancasila menjadi Trisila, kemudian menjadi Ekasila. Hal lainnya adanya kekhawatiran bahwa RUU HIP justru menurunkan kadar Pancasila sebagai sumber dari
segala sumber hukum negara benar-benar memecah fokus dan konsentrasi rakyat yang pada saat bersamaan juga dituntut harus ikut menanggulangi Covid-19.
Menurut anggota DPD RI Fahira Idris saat masa pandemi seperti ini tidaklah bijak menyajikan RUU yang sarat akan kontroversi sehingga melahirkan polemik dan penolakan yang meluas.
“Beban rakyat yang sekarang sebenarnya sudah berat. Oleh karena itu, jangan lagi ditambah dengan harus memikirkan sebuah produk hukum yang sebenarnya saat ini tidak terlalu mendesak untuk dibahas apalagi disahkan, ” ujar Fahira Idris di Jakarta (15/6/2020).
Sejatinya, salah satu persoalan ideologi Pancasila saat ini adalah pada tataran pengamalan atau implementasinya. Ideologi Pancasila itu sudah jelas dan terang benderang, tinggal diamalkan saja terutama oleh cabang-cabang kekuasaan dan para penyelenggara negara di Republik ini baik di pusat maupun daerah.
“Saat ini, perlu dilakukan baik DPR maupun Pemerintah adalah memerintahkan BPIP untuk melakukan kajian dan audit mendalam dan komprehensif tentang sejauh mana kelima sila Pancasila sudah menjadi roh kebijakan dan program cabang-cabang kekuasaan negara mulai dari eksekutif, legislatif, hingga yudikatif,” katanya.
Harus diakui, kata Wakil Ketua Badan Pengkajian MPR RI ini di saat ini keadilan ekonomi, sosial, hukum, dan politik yang merupakan amanat Pancasila untuk dijalankan negara masih belum sepenuhnya dirasakan rakyat.
Salah satu pangkal sebabnya adalah Pancasila masih lebih sering diteriakkan dari pada diimplementasikan baik dari sisi kebijakan negara maupun dari sisi tindakan para pengambil kebijakan di negeri ini.
“Namun, yang dibutuhkan agar ideologi Pancasila benar-benar dirasakan keluhurannya adalah segera implementasikan Pancasila secara murni dan konsekuen yang diwujudkan dalam praktik sikap dan perilaku para penyelenggara dan lembaga-lembaga negara,” ungkapnya.
Kontroversi lainnya, salah satu rujukan dan ‘memeras’ Pancasila menjadi Trisila lalu menjadi Ekasila, bagi Fahira, hal yang patut disorot dari RUU HIP adalah kekhawatiran menurunkan atau merendahkan posisi Pancasila sebagai norma paling tinggi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Karena Pancasila dirumuskan kembali pada tingkat norma Undang-Undang (UU). Ideologi Pancasila yang merupakan hukum dari segala sumber hukum negara jika menjadi sebuah UU.
“Bakal setara dengan produk UU lain dan perumusan ideologi Pancasila dalam UU dikhawatirkan mendistorsi makna Pancasila itu sendiri. Ini tidak boleh terjadi,” tandasnya.[/1]