RAKYAT – Selama masa pandemi Covid-19, hasil survei kantor akuntan publik dan konsultan RSM Indonesia menunjukkan bahwa kasus penipuan atau fraud dan penyelewengan aset meningkat.
“Hasil survei terhadap ancaman organisasi selama pandemi Covid-19, 80 persen instead of responden menyatakan penipuan atau fraud selama pandemi meningkat secara drastis, 35 persen menegaskan bahwa penyelewengan aset telah terjadi di organisasi mereka selama pandemi dan 56 persen menyatakan pendapatan organisasi mereka paling terpengaruh oleh pandemi ini,” ungkap Head of Consulting RSM Indonesia Angela Simatupang di Jakarta, Rabu (2/12/2020).
Melalui praktik fraud tersebut diakui 36 persen responden, mengakibatkan kerugian finansial dan 35% responden lainnya menyoroti risiko reputasi dan 25% responden percaya fraud membuat operasional perusahaan terganggu.
Sebanyak 46 persen responden menyebut manajemen level menengah institusi mereka rentan dengan praktik fraud. Sebanyak 32 persen perusahaan masih menggunakan mekanisme pelaporan formal menggunakan email.
Namun, menariknya kendati menyadari ancaman fraud sering terjadi, sebanyak 20 persen responden lainnya mengaku mereka tidak memiliki mekanisme pelaporan formal untuk melaporkan pelanggaran yang terjadi.
“Berbagai bentuk penyelewengan aset terjadi mulai dari pencurian uang tunai, penyelewengan kwitansi kas, kecurangan saat pencairan dan penyalahgunaan inventori aset perusahaan,” ungkapnya.
Sebanyak 53 persen menilai internal audit menjadi mekanisme yang terbukti efektif dalam mendeteksi terjadinya fraud dan 29 persen lainnya menyatakan melalui saluran whistleblowing.
Area berisiko terjadinya fraud terbesar adalah di sektor pengadaan (dinyatakan oleh 49 persen responden) mulai dari perencanaan, seleksi mitra, pembayaran hingga audit, dimana korupsi dan potensi terjadinya pembengkakan biaya (mark up) sangat tinggi, dan 25 persen responden lainnya menyatakan pada divisi keuangan dan akuntansi.
Praktik fraud dapat dikontrol secara efektif melalui lima cara yakni pertama kontrol lingkungan berupa menguji seberapa kuat nilai-nilai integritas dan etika menjadi fundamental perusahaan.
Kedua, melakukan penilaian risiko fraud, termasuk skema-skema fraud teraktual yang dihadapi perusahaan. Ketiga merancang dan mengimplementasikan aktivitas anti-kontrol fraud, mulai dari kebijakan dan prosedur.
Keempat, membagikan informasi dan komunikasi. Kelima, melakukan pengawasan aktivitas termasuk siapa yang bertanggungjawab menindaklanjuti setiap laporan yang disampaikan seseorang.
Survei dilakukan RSM Indonesia melibatkan responden yang bekerja menangani manajemen risiko perusahaan dari 18 sektor industri dengan sektor terbesar berasal dari pemerintah (21 persen), disusul perbankan (15 persen) dan komersial dan jasa profesional (9 persen).
Adapun responden terlibat mayoritas bekerja di perusahaan dengan pendapatan tahunan di atas Rp 5 triliun (67 persen) dan di bawah Rp500 miliar (13 persen).
Termasuk, mempekerjakan pegawai antara 100-999 orang (39 persen) dan 1.000-5.000 orang (23 persen). Survei dilakukan pada 2010 saat diberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di Indonesia.[/4]