Para Raja dan Sultan Minta Kembalikan Pelajaran Sejarah Kerajaan dan Kesultanan Nusantara
RAKYAT.CO – Pemerintah diminta oleh budayawan dan Pengageng Kedaton Jayakarta, PNA Mas’ud Thoyib Adiningrat memerhatikan keberadaan kerajaan dan kesultanan Nusantara yang hingga kini ada 637 kerajaan dan kesultanan di Indonesia.
Selain itu, Thoyib meminta pemerintah memperhatikan keberadaan raja dan sultan serta kerajaan dan kesultanan nusantara.
“Para raja dan sultan meminta pemerintah mengembalikan pelajaran tentang sejarah kerajaan dan kesultanan Nusantara dalam kurikulum pendidikan,” ungkapnya.
Sebagai pusat pelestarian dan pengembangan budaya Nusantara dan menjadikan budaya Nusantara sebagai sumber kepribadian bangsa, merekatkan persatuan dan kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dengan ribuan pulau dan kebhinekaan budaya merupakan aset kekayaan bangsa yang tak ternilai harganya, yang perlu dilestarikan, dipertahankan, dan dikembangkan sebagai modal untuk membangun bangsa.
Pada masa lalu, raja-raja Nusantara dalam sejarah kerajaan di Indonesia ada dua kerajaan yakni Sriwijaya (Srivijaya), di sungai Musi, Palembang dan kerajaan Majapahit, yang terletak di hilir sungai Brantas, Mojokerto. Keduanya adalah kerajaan maritim yang sangat kuat serta disegani di zamannya.
Di luar dua kerajaan yang pernah menguasai kawasan laut Asia Tenggara, Nusantara memiliki jejak kuasa kerajaan yang panjang. Dirunut menurut urutan pulau di Sumatera, Aceh, berdiri kerajaan Samudera Pasai sebagai kerajaan Islam pertama di Nusantara, kerajaan Batak di Tapanuli Utara, serta kerajaan Minangkabau.
Di Kalimantan, dijumpai kerajaan Kutai Tarumanegara, kerajaan Hindu tertua dan kerajaan Banjar (Banjarmasin). Masuk ke Pulau Sulawesi di jazirah Selatan dan Barat adalah kawasan paling banyak kerajaan. Di sini berdiri kerajaan Gowa-Tallo, Mandar, Selayar, Sidenreng dan Wajo.
Di tenggara berdiri kerajaan Buton. Di Maluku, khususnya Jazirah Maluku Utara, berdiri empat kesultanan utama, yaitu Kesultanan Ternate, Tidore, Bacan, dan Jailolo. Pulau Maluku, daerah kepulauan rempah-rempah, juga berdiri kerajaan.
Di Pulau Jawa, sejarah pendirian, pertumbuhan dan kehancuran kerajaan-kerajaan di sana paling banyak menghiasi buku sejarah negeri ini.
Sebagai wilayah Silang Budaya—meminjam penamaan Dennys Lombard untuk kawasan ini—Pulau Jawa merupakan lintasan peradaban Hindu, Budha, Konfusianisme serta Islam (Peradaban Timur) dan Kristen serta Katolik (peradaban Barat) yang bercampur dengan warisan kebudayaan lokal.
Kerajaan-kerajaan Hindu, Budha dan Islam berganti hadir dalam sejarah kekuasaan di Jawa. Sejarah perlawanan bangsa-bangsa pribumi, kerajaan-kerajaan itu menjadi penguasa di daerahnya masing-masing, yang terkadang terjadi peperangan di antara mereka.
Sejak Portugis tiba di Malaka pada 1511 dan VOC berdiri pada 1602, dan tiba di pelabuhan Banten 1659, sejak saat itu pelayaran bangsa-bangsa Barat ke Timur jauh makin intensif, penuh pertentangan, penaklukan dan penjajahan rakyat Nusantara.
Berbagai kerajaan ada yang menjadi pelaku aktif pemberontakan terhadap bangsa-bangsa Barat yang berlayar mencari komoditi, menguasai kawasan, dan mengendalikan jalur perdagangan serta pelayaran di Nusantara. Namun juga ada yang menjadi ‘kerajaan komprador’dari imperium bangsa-bangsa Barat itu.
Thoyib menuturkan, berdirinya negara Indonesia modern membuat eksistensi kerajaan, kesultanan atau bentuk sistemik lain dari monarki, termarginalisasi sekaligus tersubordinasi ke dalam pusat kekuasaan.
Kini hanya di beberapa tempat, eksistensi monarki Nusantara itu tetap bertahan dan dalam beberapa segi masih berani vis-à-vis kekuasaan negara.
Misalanya, Kesultanan Yogyakarta yang menggambarkan tumpang tindihnya kuasa kerajaan dan kuasa negara : seorang Gubernur juga adalah seorang Sultan.
Pada daerah yang pernah menjadi saksi politis juga teritorial hadirnya kerajaan, selain menyisakan prasasti atau situs budaya (seperti candi, makam, keraton, dan lainnya), jejak tradisi dan kebudayaan relatif masih cukup terjaga.
Bahkan, penghormatan terhadap Raja atau Sultan masih dilakukan oleh warganya. Para Raja masih memiliki pengaruh pada wilayah tertentu, khususnya di wilayah adat, tradisi atau budaya secara makro.
Kehadiran lembaga politik modern (negara) dan ekonomi (pasar dan perusahaan) menghancurkan basis ekonomi di bawah kontrol kerajaan.
Jika dalam kontrol kerajaan, ekonomi cenderung berpusat keluarga dan komunitas desa, maka hadirnya sistem moneter, pasar, juga lembaga ekonomi berupa perusahan menyobek semua relasi tradisional raja dan produsen ekonomi.
Sedangkan, dalam negara modern, pemerintahlah yang memiliki kewenangan formal mengatur investasi, dimulai dari izin, kontrak karya, hingga pembagian hasil usaha.
“Istana Raja mungkin mendapat jatah, hanya saja jatah itu sangat bergantung pada pengaturan negara,” katanya.
Di wilayah kebudayaan, otoritas para Raja mulai bergeser dan mengecil. Kombinasi dari ‘kemunduran otoritas politik dan kemunduran otoritas pengaturan ekonomi’ bertemu serbuan budaya pop yang berbasis eksploitasi tubuh, komoditisasi, dan pemuasan hasrat konsumtif tanpa batas.
Dampak kebudayaan warisan leluhur yang dikoordinir dalam satu teritorial kuasa kerajaan seolah tertinggal beberapa langkah dibelakang,lantas diberi cap kuno dan antik dan ditinggalkan generasinya.
“Ke depan dibutuhkan ‘raja-raja baru’ yang memiliki visi kebangsaan dan kawasan yang cerdas di mana mampu keluar dari ‘tembok-tembok nalar dan kebiasaan istana zaman dahulu,” pungkas Thoyib.[/2]