Sekjen PA-GMNI: TAP MPRS No.33/1967 Tak Sehat dan Politis

Sekjen Persatuan Alumni Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (PA-GMNI) Abdy Yuhana

RAKYAT.CO – Analisis terkait Ketetapan MPRS No. XXXIII (TAP) No 33 Tahun 1967 tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintah Negara dari Presiden Sukarno dinilai sangat kental dengan nuansa politik.

“Tap MPRS No 33 Tahun 1967 disebutkan bahwa jika Bung Karno diindikasikan terlibat secara tidak langsung menguntungkan PKI, serta telah melindungi tokoh-tokoh PKI,” ujar Sekjen Persatuan Alumni Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (PA-GMNI) Abdy Yuhana di Garut, baru-baru ini.

Konsideran TAP MPRS tersebut landasan filosofisnya bertentangan dengan tujuan filosofis pembentukan peraturan perundang-undangan, yaitu peraturan dibentuk dengan mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila dan Pembukaan UUD 1945.

”Jadi TAP MPRS itu bersifat politik dikarenakan tidak dilandasi putusan peradilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sebelumnya atas dugaan telah melakukan kebijaksanaan yang secara tidak langsung menguntungkan G-30-S/PKI dan melindungi tokoh-tokoh G- 30-S/PKI, ” tandasnya.

Perihal pihak menyatakan negara dalam kemunduran ekonomi tidak disertai hasil riset dari pakar ekonomi. Perihal kemerosotan akhlak dituduhkan terhadap Ir. Sukarno sangat tidak manusiawi dikarenakan Ir. Sukarno tidak pernah terlibat dalam kejahatan dan tidak ada norma sosial, norma hukum dan norma agama dilanggar menjadi Presiden RI.

“Apabila kita perhatikan dalam konsideran TAP MPRS No 33 landasan sosiologisnya sangat bertentangan dengan tujuan sosiologis pembentukan peraturan perundang-undangan, yaitu pertimbangan atau alasan yang menggambarkan peraturan dibentuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek, serta menyangkut fakta empiris mengenai perkembangan masalah dan kebutuhan masyarakat dan negara,” kata politisi PDI Perjuangan itu.

Bisa disimpulkan TAP MPRS No. 33 anya bersifat politik dikarenakan tidak dilandasi data empiris dan hanya berpandangan pada pandangan dan sikap politik. Jika diperhatikan, landasan yuridisnya sangat bertentangan dengan tujuan yuridis pembentukan peraturan perundang-undangan, yaitu suatu peraturan perundang-undangan harus memiliki dasar yuridis , legalitas, dan landasan hukum yang terdapat di dalam peraturan peraturan perundang-undangan yang derajatnya lebih tinggi atau sederajat menurut hierarki peraturan perundang-undangan.

“Hanya bersifat politik dikarenakan tidak mencerminkan nilai-nilai atau norma-norma terdapat dalam pembukaan dan penjelasan UUD 1945. Keputusan Pimpinan MPRS No. 13/B/1967 tentang Penolakan Pidato Pelengkap Nawaksara tidak dapat dijadikan landasan yuridis dalam konsideran pembentukan TAP MPRS No. XXXIII Tahun 1967,” tandas Abdy.

Tujuan Politik Hukum Nasional adalah sebagai alat atau sarana dan langkah yang dapat digunakan oleh pemerintah untuk menciptakan suatu sistem hukum nasional yang dikehendaki, dimana sistem hukum nasional itu akan diwujudkan cita-cita Bangsa Indonesia yang lebih besar.

“Pembentukan TAP MPRS No. 33 tidak sesuai landasan pembentukan peraturan perundang-undangan. Tujuan filosofis, sosiologis dan yuridis dalam konsideran tidak mencerminkan politik hukum yang baik dan benar, serta tidak sehat dan bersifat politik,” pungkas Abdy.[/1 Noto]

Open chat
1
Butuh bantuan?
Rakyat
Halo! Apa yang bisa kami bantu, Kak?