RAKYAT.CO – Ketua Mahkamah Agung Muhammad Syarifuddin mengajukan gagasan heuristika hukum, sehingga menjadi salah satu seni pendekatan dalam melihat sebuah perkara.
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Prof. Topo Santoso menyatakan bahwa konsep heuristika hukum menarik untuk didiskusikan.
“Heuristika hukum bisa menjadi seni untuk menemukan pendekatan baru, ” ujar Topo dalam sebuah diskusi di Jakarta, Senin (22/2/2021).
Namun, dalam proses peradilan sebuah kasus merupakan problematika yang perlu ditemukan jalan keluarnya.
“Kita tidak bisa menggeneralisasi, tidak semua kasus sama. Sebab, tersangkanya, korbannya, itu beda-beda,” katanya.
Untuk menangani perkara, hakim dihadapkan pada dua tahap pekerjaan. Pertama, ketika hakim mau memutuskan perkara itu benar atau salah, terbukti atau tidak, pasti berdasarkan analisis terhadap barang bukti, keterangan terdakwa, keterangan ahli, sampai pada keyakinan sang hakim.
Kedua, kalau dari analisa tersebut ternyata terbukti dan terdakwa dinyatakan bersalah, sang hakim masih ada tugas berikutnya, yaitu menentukan masa hukuman.
Dalam KUHP yang disebutkan hanya maksimum hukuman. Kisaran hukuman bisa dimulai dari satu hari sampai, tujuh tahun, sepuluh tahun, dan seterusnya. Seringkali putusan hakim menjadi pertanyaan publik.
Penting bagi seorang hakim mempertimbangkan banyak variabel dalam mengambil keputusan. Posisi seorang hakim dalam memutuskan sebuah perkara hukum bukan hanya mengandalkan analisis saja, tetapi melibatkan nurani, melibatkan kontemplasi, dia harus merenungkan apakah putusannya itu adil atau tidak, proporsional atau tidak.
“Hal ini membutuhkan seni memutuskan. Dalam pidato Prof. Syarifuddin tentang heuristika hukum, saya kira sangat bagus untuk saat ini dan bisa menjadi pedoman dan acuan bagi para hakim,” tandas Prof. Topo.
Dalam perspektif heuristika hukum sebagai buah dari pemikiran Ketua Mahkamah Agung. Selama kurang lebih 35 tahun menjalankan tugas sebagai Hakim, ia menyadari ada problematika klasik dalam penegakan hukum korupsi yang belum mendapatkan jawaban secara tuntas, tidak saja dalam dunia akademis, melainkan juga dalam dunia praktik.
Kondisi tersebut muncul sebagai akibat dari ketentuan hukum normatif dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi yang memberikan ruang yang sangat leber bagi penegak hukum, termasuk para hakim, untuk menentukan besaran dan lamanya hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana korupsi.
“Penegakan hukum korupsi di Indonesia terkadang sangat kaku dan kurang memberikan rasa keadilan dan kemanfaatan bagi para pihak akibat penjatuhan sanksi pidana oleh hakim di pengadilan, ” tandasnya.
Sebelumnya, Ketua Mahkamah Agung menuangkan konsep heuristika hukum dalam pidatonya saat pengukuhan sebagai Guru Besar Tidak Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang.[/1]