RAKYAT.CO – Penegakan hukum kasus Jiwasraya dan Asabri belum sesuai dengan semangat penegakan hukum terkait dengan KUHP, KUHAP maupun UU Tipikor.
Terlebih menyangkut penentuan kerugian negara. “Bagi saya masih sangat meragukan. Apa betul itu apa yang dilakukan menimbulkan pada akhirnya menimbulkan kerugian bagi negara,” ungkap Guru Besar Fakultas Hukum Unair, Lucianus Budi Kagramanto, Minggu (11/7/2021).
Memang, jika benar terjadi gagal bayar oleh asuransi, maka kasus Jiwasraya dan Asabri ini sebetulnya masuk dalam ranah perdata, bukan masuk ke dalam ranah pidana.
“Terkait dengan apa namanya pasar modal, lalu penetapan nilai kerugian dalam kasus tersebut serta penurunan nilai saham yang dimiliki oleh Asuransi Jiwasraya dan Asabri ini sebetulnya kan masuk dalam kajian hukum perdata,” tandasnya.
Ia mempertanyakan dasar hukum yang dipakai Kejaksaan Agung dalam melakukan penyitaan, pemblokiran, perampasan aset yang tak terkait perkara korupsi.
“Sebetulnya untuk apa, untuk kepentingan siapa, ini nggak jelas. Apakah prosedur-prosedur seperti ini apakah dapat dibenarkan oleh undang-undang? Pihak Kejaksaan jangan jadi instrumen negara untuk pemidanaan yang dipaksakan,” tandsanya.
Kuasa Hukum PT TRAM dan PT JBU, Haris Azhar menyebutkan bahwa penanganan kasus Jiwasraya-Asabri adalah kejahatan menggunakan proses penegakan hukum.
“Jika saya bilang ini kejahatan dengan menggunakan fasilitas proses hukum atau instrumen negara,” katanya.
Penggunaan kekuasaan atas nama proses hukum yang dilakukan Kejaksaan Agung sebetulnya menciptakan banyak kerugian.
“Tapi kalau dalam militer itu ada namanya perintah komandonya yang memang menikmati, menikmati semua proses kejahatan berkedok proses penegakan hukum ini. Itu jelas kriminalisasi,” katanya.
Hingga kini, sejumlah fakta kasus Jiwasraya terabaikan di persidangan mulai terungkap ke publik. Kondisi perusahaan asuransi pelat merah itu baru memburuk di Oktober 2018, atau di era kepemimpinan Hexana Tri Sasongko, eks Direktur Utama.
Kuasa hukum Heru Hidayat, Kresna Hutahuruk, ketika mengumumkan gagal bayar tersebut total aset investasi yang masih dimiliki oleh Jiwasraya sekitar Rp32 triliun.
“Tunggakan Rp 802 miliar. Namun direksi baru (Hexana) ketika itu tidak melakukan penyelamatan pembayaran, malah mengumumkan gagal bayar, yang mengakibatkan nilai saham-saham yang dimiliki AJS turun,” ungkap Kresna.
Kresna menegaskan jika kliennya adalah emiten, yaitu seorang yang memiliki saham di beberapa perusahaan, sama seperti Jiwasraya berinvestasi di 100 lebih saham.
“Posisi klien kami hanya emiten. Kenapa kejaksaan tidak mempermasalahkan semua emiten? Istilahnya ketika kita membeli saham Bank BRI kemudian turun jauh, apakah kita bisa mempermasalahkan harga barunya? Kan tidak.”[/1]