Maaldministrasi, Amnesty Desak Jokowi Batalkan Keputusan Pemecatan 57 Pegawai KPK

Jumat, 17 September 2021

RAKYAT.CO – Permintaan kepada Presiden Joko Widodo untuk pembatalan keputusan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) disampaikan oleh Amnesty International Indonesia (AII) terkait pemberhentian 57 pegawai tak lolos Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) per 30 September 2021.

Direktur Eksekutif AII, Usman Hamid, menilai keputusan memecat 57 pegawai KPK mengabaikan temuan Ombudsman RI dan Komnas HAM soal malaadministrasi dan pelanggaran HAM terkait implementasi TWK alih status pegawai KPK menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN).

“Jelas, keputusan ini mengabaikan rekomendasi Komnas HAM maupun Ombudsman dan menunjukkan ketidakpedulian pimpinan KPK terhadap hak asasi pegawainya, terutama yang tidak lulus TWK,” ungkap Usman dalam keterangan tertulis, Jumat (17/9/2021).

Menurut Ombudsman telah terjadi penyalahgunaan wewenang, pelanggaran administrasi, dan pelanggaran prosedur dalam penyusunan kebijakan dan pelaksanaan TWK.

Karena itu, lembaga pengawas penyelenggaraan pelayanan publik itu meminta KPK melaksanakan tindakan korektif termasuk mengalihkan status 75 pegawai KPK menjadi ASN.

Tindakan korektif itu bersifat sukarela, tidak bersifat ‘memaksa’ sebagaimana rekomendasi. KPK dalam hal ini keberatan untuk menjalankan tindakan korektif dimaksud.

Ombudsman RI mengungkapkan telah mengirim rekomendasi ke Jokowi dan Ketua DPR RI, Puan Maharani. Berdasarkan UU Ombudsman RI, rekomendasi wajib dilaksanakan.

Kesimpulan Komnas HAM menyatakan ada 11 bentuk pelanggaran HAM dalam proses alih status pegawai lembaga antirasuah melalui metode asesmen TWK.

Beberapa di antaranya yakni hak atas keadilan dan kepastian hukum, hak perempuan, hak untuk tidak didiskriminasi, hingga hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan.

Dari sejumlah rekomendasi Komnas HAM ke Jokowi yakni meminta status 75 pegawai KPK dipulihkan sehingga diangkat menjadi ASN. Komnas HAM meminta Jokowi membina seluruh pejabat kementerian/lembaga yang terlibat dalam proses penyelenggaraan asesmen TWK pegawai KPK.

Menurut Usman bahwa pimpinan KPK memiliki sifat arogan, karena tidak mengindahkan temuan dari dua lembaga negara dimaksud. Di sisi lain, pemerintah mempunyai tanggung jawab sebab sejauh ini telah membiarkan sikap pimpinan KPK tersebut.

“Pengabaian temuan lembaga negara independen seperti menunjukkan arogansi pimpinan KPK dan ketidakmauan pemerintah untuk memperbaiki pelanggaran yang jelas-jelas terjadi.” kata dia.

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dan Mahkamah Agung (MA) terkait alih status pegawai KPK tidak menggugurkan temuan Ombudsman RI dan Komnas HAM. Putusan MK dan MA hanya sebatas pada norma, tidak menyasar implementasi TWK yang faktanya penuh dengan masalah.

“Maka, pimpinan KPK tidak dapat menggunakan putusan-putusan tersebut embenarkan tindakan mereka. Presiden pun tidak dapat berlindung di balik putusan tersebut sebagai alasan untuk berdiam diri. Sebaliknya, pengabaian terhadap rekomendasi Komnas HAM justru menunjukkan arogansi dan ketidakpedulian terhadap HAM,” kata Usman.

Untuk itu, AII mendesak Presiden Jokowi menjalankan rekomendasi Ombudsman RI dan Komnas HAM dan memulihkan status pegawai KPK yang diperlakukan tidak adil dalam proses dan hasil akhir TWK,” pungkasnya.

KPK menyatakan 57 pegawai dinyatakan tak lolos TWK alih status menjadi ASN diberhentikan per 30 September 2021. Enam orang pegawai di antaranya adalah mereka yang tak mau mengikuti diklat bela negara.

Sedangkan, Presiden sudah buka suara menyikapi polemik di internal lembaga antirasuah. “Jangan apa-apa ditarik ke Presiden. Ini sopan-santun ketatanegaraan. Saya harus hormati proses hukum yang sedang berjalan,” ujar Jokowi dalam pertemuan dengan sejumlah pemimpin redaksi media di Istana Kepresidenan, Jakarta, pada Rabu (15/9).[/1]