RAKYAT.CO – Saat ini sebanyak 95% anak Indonesia dalam rentang usia 12 hingga 17 tahun mengakses internet setidaknya dua kali sehari. Nyaris semua anak dan remaja rentan terpapar predator online, seperti pelecehan, eksploitasi,
cyberbullying dan radikalisasi hanya beberapa dari bentuk kekerasan daring.
Satu dari lima anak mengaku menemukan konten seksual tidak terduga melalui iklan, umpan media sosial, mesin pencari dan aplikasi perpesanan. Lebih 10% tidak ragu bertemu dengan orang asing kenalan dari internet atau Medsos. Dua persen pernah mengalami kekerasan di ranah daring, dan tidak satupun melapor ke pihak yang berwajib.
Demikian fakta lapangan yang ditemuan dari ‘Disrupting Harm, pengkajian tahun 2019 yang dilakukan oleh Global Partnership to End Violence Against Children dengan melibatkan ECPAT, Interpol dan Kantor Penelitian UNICEF – Innocenti.
Gambaran serupa dari hasil SNPHAR 2021 yang menunjukkan sekitar 0,97% anak laki-laki dan 2,30% anak perempuan remaja usia 13-17 tahun mengalami kekerasan seksual nonkontak berupa dipaksa mengirimkan teks, foto/gambar, atau video kegiatan seksual.
“Kekerasan terhadap anak di ranah daring ditemukan dan semakin mengkhawatirkan, pemerintah perlu menguatkan regulasi dan piranti penangkal dan pengendaliannya, termasuk memastikan tersedianya layanan bagi anak sebagai korban, anak sebagai saksi dan anak sebagai pelaku, ” ujar Nahar, Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak di Kementerian Permberdayaan Perempuan dan Pelindungan Anak (KemenPP dan PA), yang menggodok rancangan perpres pelindungan anak di ranah daring.
Sebagai bagain dari peringatan Hari Anak Nasional 2023, Independen Pekerja Sosial Profesional Indonesia (IPSPI) bekerjasama dengan KemenPP dan PA menyelenggarakan Training of Trainer (ToT) Nasional untuk Pekerja Sosial dari berbagai wilayah Indonesia. “Pekerja Sosial mempunyai kompetensi berbasis pengetahuan, etika dan keterampilan serta akuntabilitas yang tepat untuk berada di garis depan pelindungan anak di ranah daring,” ucap Puji Pujiono, Ketua umum IPSPI.
Dalam UU No 14/2019, Pekerja Sosial seperti halnya insinyur dan dokter, merupakan sarjana kesejahteraan sosial atau sarjana terapan pekerjaan sosial, tamat pendidikan profesi, lulus uji kompetensi nasional, dan anggota IPSPI sebagai organisasi profesi.
Gelombang pertama, 30 Pekerja Sosial dari berbagai bagian Indonesia dilatih untuk menjadi Trainer dengan berkolaborasi dengan Asosiasi Pekerja Sosial Anak dan Keluarga Indonesia (Apsaki) serta Indonesia Child Online Protection (ID-COP) untuk memastikan pendekatan yang multisektoral. “Pada saatnya para Pekerja Sosial akan berada di garis depan pelindungan, pertahanan, pendampingan dan pemulihan anak terutama dalam bentuk pengelolaan kasus di UPTD-UPTD di daerah,” terang Ciput Purwianti, Asdep Perlindungan Khusus Anak dari Kekerasan di Kemen PP dan PA.
“Pekerja Sosial dalam TOT akan melatih sejawat mereka di sektor dan di daerah seluruh Indonesia untuk membangun kerangka praktik perlindungan anak di ranah daring, mengembangkan model-model intervensi dan membangun kolaborasi antar-pihak,” ungkap Suarni Daeng Caya, Pekerja Sosial senior dari Bogor.
Melalui DPD-DPD di semua propinsi, Pekerja Sosial mempunyai posisi yang strategis dan unik dalam membangun jaringan pelindungan.
Pakar pekerjaan sosial pelindungan, perempuan dan gender, Lutri Huriyani menyatakan bahwa TOT ini perlu dan mendesak mengingat kekerasan di ranah daring semakin menunjukkan karakteristik sebagai suatu masalah sosial yang berkembang pesat dan meluas atau rapidly growing social problem. “Tanpa pengendalian terkoordinasi, masalah akan meledak, “katanya.
Sebagai profesi pertolongan kemanusiaan, para Pekerja Sosial perlu memahami Hak-hak Sipil Dasar Anak yang sangat erat kaitannya dengan prinsip dan kerangka etika profesi Pekerjaan Sosial, termasuk implementasinya dalam kehidupan digital” kata Bayu Risdiyanto, Pekerja Sosial di Bengkulu yang juga Ketua IPSPI untuk Pemuliaan Keanggotaan dan
Pengembangan Profesi.
Untuk melengkapi materi-materi berorientasi praktik yang membantu mereka mengembangkan model-model pelindungan dan manajemen kasus anak di daerah.
Andy Ardian, Koordinator Indonesia Child Online Protection atau ID-COP menyambut baik dan mendukung TOT Pekerja Sosial ini. “Kegiatan ini memperkuat dan memperkaya upaya-upaya ID-COP yang baru saja menerbitkan berbagai panduan pelindungan anak di ranah daring untuk pemangku kepentingan di berbagai sektor dan untuk anak dan orang tua”
Di garis depan dan di lapangan, baik di lembaga-lembaga pemerintah, LSM, lembaga-lembaga pelindungan anak, pengasuhan anak, kesejahteraan maupun di Unit-Unit Pelayanan Teknis Daerah, korps Pekerja Sosial memainkan peran yang makin penting disamping mengatasi masalah-masalah sosial yang konvensional.
“Untuk itu, kami terus membuka komunikasi dan koordinasi dengan para pejabat dan OPD terkait di daerah; karena justru di tataran UPTD PPA itulah perjuangan pelindungan anak di ranah daring ini diperlukan,” tandas Wawan Setiawan, Ketua Umum Asosiasi Pekerja Sosial Anak dan Keluarga Indonesia, salah satu lembaga otonom di dalam IPSPI.[/7]